Kuperhatikan setiap kata demi kata yang orang ini sampaikan. Begitu
mengagumkan, jelas sekali kalau dia sudah bertahun-tahun menekuni dunia
jurnalistik. Wajahnya masih terlihat muda tapi tak ada keraguan dari setiap
kata yang dia sampaikan. Serta interaksinya dengan audiens begitu sangat
menarik sesekali terdengar gelak tawa dari para audiens di tengah materi
workshop yang dia sampaikan. Kata-kata
motivasinya bagi para audiens membuat acara menjadi begitu hikmat. “Tidak akan
ada sesuatu yang terjadi kalau kita hanya berdiam diri. Buatlah impossible
menjadi possible”. Aku adalah satu dari peseta yang mengingukuti workshop
jurnalistik yang diikuti oleh siswa dari berbagai macam SMA di kotaku.
“Dan untuk menjadi seorang jurnalis yang orang perhatikan adalah
tulisan dari informasi yang kita buat. Dan itu semua perlu pembelajaran. Dan
mulailah dari membaca yang akan menjadi referensi tulisan yang akan ditangkan
pada secarik kertas, seperti orang bijak mengatakan Buku adalah Jendela Dunia,
mampu menapaki setiap daerah tanpa batas. Lalu sekarang apa yang kita tunggu
buatlah berita dari tulisan tangan kalian”, perintahnya. Segera para panitia
workshop membagikan kertas pada seluruh peserta workshop.
“Temanya apa kak ?” tanya seorang peserta
“Emmmhh…. Bagusnya apa yaa… berhubung sekarang lagi persiapan menuju
ujian nasinal. Buatlah berita mengenai UNAS”
Segera para peserta mulai asyik dengan bolpoin dan kertas yang sudah
ada di depan mereka.
“Mal, judul kamu apa ?” tanyaku pada Nurmala
“Belum dapat judul Fit, aku tulis isinya baru abis itu judulnya”
jawabnya
“Hahaha… gila aja loh, gimana bisa buat cerita kalau judul beritanya
belum ada”
“Hahaha… Iya juga yah… malah bingung kan aku mau tulis apa”
“Tuh kan… Judul berita yang mau di angkat aja belum ada”
“Kamu mau angkat tentang apa Fit ?”
“Aku mau angkat soal try out
saja”
“Bagus, Fit… aku soal itu juga yah. Gak papa kan ?”
“Yah… gak papa, anggap aja hanya kebetulan. Hahahaha”
Dan kini aku mulai konsentrasi dengan tulisanku. Gerakan tanganku
bersatu dengan ide kata-kata dalam otakku yang siap aku tulis pada secarik
kertas putih. Kali pertama aku menulis berita sepanjang hidupku. Entah bagus
atau bukan aku tidak tahu. “Tak ada sesuatu yang terjadi kalau kita hanya
berdiam diri” kata-kata itu benar-benar merasukiku.
“Baiklah adek-adek waktu kalian lima menit lagi. kalau sudah ada
yang selesai boleh dikumpulkan”.
Satu demi satu para peserta mulai maju ke depan untuk mengumpulkan
hasil berita yang sudah mereka tulis. Dan Kak Ardhy yang menjadi pemberi materi
tentang jurnalistik mulai membaca setiap
lembaran-lebaran berita yang sudah dikumpulkan.
“Baiklah… kakak sudah memilih 3 berita dari 3 orang penulis berita.
Yang pertama ada Anisa Putri, dalam menulis sebuah berita hindari kata tanya
dalam penulisan berita jadi kalaimat “siapa yang salah?” itu tidak perlu.
Karena kita ini menyampaikan berita, apa jadinya jika malah bertanya pada
pembaca. Yang kedua dari Nur Hasanah dalam menulis berita, jika dalam berita
perlu mencantumkan data-data, maka data tersebut haruslah data yang valid,
karena sebagai jurnalis kita harus menyampaikan berita yang factual. Sesuai
dengan apa yang terjadi.
Yang terakhir ini bagus, dari judul sudah ada keinginan untuk
membaca “Hebat, Try Out Tidak Lulus 100%” ini punya Fitria Ramlan. Salah satu
dalam penulisan berita juga ya g tidak kalah penting adalah judul yang menarik,
mampu membuat orang penasaran sehingga menarik untuk membaca. Serta isi dari
Fitria Ramlan ini juga bagus karena menympaikan data-data yang dia peroleh
adalah fakta dari SMA Negeri 1 Budi Luhur. Dan pada akhir berita disebutkan
bahwa harus ada komunikasi dan perhatian antara guru, orang tua, dan siswa itu
sendiri dalam menjalani try out sebagai tolak ukur sebelum menjalani UNAS.
“Wihhh… Fitria, naskah beritanya disanjung-sanjung” celetuk Nurmala.
Aku hanya senyum-senyum sendiri saat naskah beritaku mendapat
apresiasi yang baik dari Kak Ardhy.
“Mana yang namanya Fitria Ramlan, boleh maju ke depan” pinta kak
Ardhy
Segera ku acungkan tanganku dan kak Ardhy mempersilahkan untukku
maju ke depan.
“Wah… ini Fitria Ramlan, beri tepuk tangan adek-adek”
Langsung seluruh ruangan ramai dengan tepuk tangan
“Ini hadiah untuk penulisan
naskah berita terbaik hari ini, semoga bermanfaat ya” kata Kak Ardhy sambil
memberiku sebuah bungkusan kotak
“Iya terima kasih kak” jawabku
****
“Fit… kamu pulang sama siapa mau barengan gak?” tanya Nurmala
“Aku dijemput Ayah, Mal”
“Yaudah, aku duluan ya.. “
“Oke”
Kutunggu Ayah di luar dekat gerbang sekolah. Cukup lama aku menunggu
hingga akhirnya hujan turun tiba-tiba. Kunikmati saja suasana di luar ruangan
yang sudah diguyur hujan sambil menunggu ayah. Sungguh menenangkan hati.
Alirannya saat menyentuh bumi tanpa ada yang bisa menghentikannya. Hujan
karunia Tuhan, rejeki Tuhan untuk makhluk ciptaannya. Apalah arti dunia tanpa
hujan. Mungkin tak akan ada kebahagiaan. Seperti cinta yang menemani setiap
langkah kehidupan manusia. Kala menyenangkan, namun juga sering membuat sedih.
Tapi tanpanya hidup tak akan berwarna.
Kutadahkan tanganku menyambut air hujan yang turun dari genting
gedung serba guna kampus. Kubiarkan alirannya menyapu dan membasahi seluruh
telapak tanganku agar bisa merasakan kesejukan air hujan.
Tiba-tiba handphoneku
berbunyi. Kulihat nama yang tertera pada layarnya adalah Ayah.
“Iya halo, ada apa yah ?”
“Halo, Dek… Ayah masih ada tugas
kantor. Mungkin ayah telat jemput adek” jawabnya diseberang telpon
“Oh.. ya udah deh gak papa Yah..
Oh iya Yah.. adek mau cerita nanti sama ayah, seru deh Yah”
“Cerita apa dek ?Buat ayah penasaran aja”
“Ada deh… Nanti kalau udah di rumah Adek mau kasih kejutan sama
ayah” Kataku sudah tak sabar untuk menceritakan naskah terbaikku.
“Adek tunggu di halte dekat sekolah ya Yah..”
“Oke, dek.. kalau udah selesai Ayah jemput adek” Segera kumatikan
telpon dari Ayah. Dan melanjutkan aktivitasku yang sudah tertunda gara-gara
telpon dari Ayah.
Kulangkahkan kakiku melewati gerimis yang masih turun menuju halte
dekat sekolahku. Bersama dengan para penumpang bus kota, aku duduk dan memperhatikan
lalu lalang kendaraan bermotor yang tak ada hentinya meski hujan menerpa. Hujan
nampaknya tidak kunjung berhenti total, sisa gerimis terus turun membasahi
setiap objek yang menghalanginya untuk sampai ke tanah.
Bus kota kini sudah tiba beberapa orang sudah naik, dan beberapa
orang juga turun. Entah sudah berapa kali aku melihat pemandangan ini, aku tak
tahu pasti. Kulihat jam di tanganku sudah menunujukkan jam 16.30. “Ayah kok
lama banget sih” gumamku dalam hati. Segera ku ambil handphoneku untuk mengetahui keadaan ayah. Apakah dia sudah selesai
dengan pekerjaannya atau tidak. “Lah.. ini HP kok mati sih, gimana aku bisa
hubungin ayah kalau kaya’ gini”. Kucoba terus menekan tombol Switch On pada HPku namun tak ada
hasilnya. Tak ada tanda menyala pada layar di handphoneku.
“Menyesal sekali kenapa tidak aku terima ajakan Mala untuk pulang
bareng” gumamku… Tiba-tiba tanpa ada yang memerintah sesuatu yang berasal dari
dalam diriku mulai bersuara… “Oh Tuhan, kenapa ini perut juga ikut-ikutan
nyebelin sih, gara-gara tadi pagi makannya sedikit berontakknya juga cepet
banget huh.. “. Kulihat lagi beberapa orang sudah mulai menaiki bus kota untuk
sampai di tujuan masing-masing. Dan kini
masih tertinggal 1 penumpang, entah karena dia merasa busnya terlalu penuh
sehingga malas untuk berdesakan dengan penumpang lain atau dia sama sepertiku
menunggu seseorang yang tak kunjung datang.
“Maaf mas… saya boleh pinjam handphonenya?” tanyaku pada laki-laki
yang aku taksir masih berumur 21 Tahun.
“Eh… Iya boleh silahkan dek”
Jawabnya agak kager dengan permintaanku padanya
“Terima kasih mas, saya mau
telfon ayah saya sebentar” jawabku seraya mengambil handphone yang sudah dia
suguhkan
Segera ku tekan nomor telepon ayah yang sudah aku hafal di luar
kepala. “Tuttt… Tuttt… Nomor yang anda
hubungi sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi”. Kucoba lagi dan
lagi tapi hasil yang kudapat tetap saja nomor telepon ayah tidak aktif. Hingga
aku pasrah untuk tidak menghubungi ayah dan mengembalikan handphone pada
pemiliknya.
“Ini mas, terima kasih….
Pulsanya tetep aman kok” kataku mencoba bergurau
“Loh.. kenapa dek, gak jadi yang
mau telepon ayahmu ?”
“Nomor teleponnya gak aktif mas”
“Terus kamu pulang sama siapa ?”
“Pulang sendiri, gak mungkin kan
aku lama-lama disini”
“Gini aja kalau mau kamu pulang
bareng aku aja, tapi tunggu mamaku datang gak lama kok mungkin 10 menit lagi.
Daripada kamu kemaleman disini, lagi pula kalau udah jam segini biasanya bus
udah jarang lewat”
Kupehatikan jam di tanganku sudah menunjukkan hampir jam 5 sore.
“Yaudah, tapi gak ngerepotin juga kan?” tanyaku
“Enggak donk, Oh iya nama kamu
siapa ? Aku Roby” katanya sambil mengulurkan tangannya padaku
“Aku Fitria” Jawabku membalas
salamannya
“Oh iya rumah kamu dimana ?”
“Di jalan Tamrin mas, dekat
lapangan footshall”
“Tiiiiiitttt… Tittttt !”
terdengar suara klakson mobil saat aku tengah berbicara dengan mas Roby.
Kulihat mobil hitam itu berhenti di depan kami.
“Itu mamaku sudah datang, ayok “
Ajaknya agar aku segera masuk ke dalam mobilnya. Entah tak ada perasaan takut
pada mas Roby orang yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu. Segera kami
masuk ke dalam mobil yang sudah siap untuk membawa kami meninggalkan halte bus
yang masih dibalut oleh gerimis.
“Ini siapa By” tanya seorang
wanita yang sedang menyetir mobil dengan berpakain cukup rapi.
“Oh… ini Fitria ma.. temen Roby.
Fit.. ini mamaku”
“Iya.. halo tante” kataku agak
malu-malu harus ngomong seperti apa
“Iya.. halo juga Fitria”
“Ma… kita ke jalan tamrin deket
lapangan footshall itu Yah… Anterin
fitria dulu”
Dengan anggukan wanita ini terus berkonsentrasi pada setir yang ada
d hadapannya. Dan sampai rumahku teryata hujan sudah berhenti. Hanya saja
genangan-genangan air akibat hujan masih ada dimana-mana.
“Mas Roby, tante… makasih ya…
sudah anterin saya pulang. Gak mau masuk dulu ?”
“Oh iya… sama-sama, lain kali
aja yah.. udah mau malem solanya” jawab mas Roby
“Oh yaudah… hati-hati di jalan”
“Iya Fit.. makasih ya.. kita
pulang dulu.. Daaa”
Segera mobil warna hitam itu melaju meninggalkan rumahku. Kulihat
suasana rumah masih sepi. tak ada motor ayah yang terparkir di halaman rumah.
Segera ku ambil kunci rumah yang ada di dekat pot bunga. Kubuka pintu rumah dan
segera melaju ke dapur untuk masak telur sebagai jalan yang paling singkat
untuk memenuhi perutku yang sudah bergejolak. Untung saja masih ada nasi sisa
sarapan tadi pagi. Kubuka jendela yang ada di dapur agar udara luar bisa masuk.
Tiba-tiba entah darimana munculnya tiba-tiba perasaan mulai tak
enak. Aku mulai kepikiran ayah. Tidak biasanya ayah pulang sampai jam malam
seperti ini. Ku ambil handphone dari dalam tasku untukku carger agar segera
bisa mengetahui keadaan ayah. Handphoneku mulai berbunyi kala aku mulai
menyalakannya, terlihat banyak sekali pesan singkat yang masuk. Ku buka satu
persatu, hampir seluruhnya dari Om Arman, Kak Firman . “Fit… Ayah kamu
kecelakaan, sekaran ada di RS. Budi Utomo. Kamu ada dimana sekarang ?”
Sontak tubuhku gemeteran dengan sendirinya. Segera ku telepon Om Arman,
tapi tak ada jawaban. “Om…. Angkat Om…. “ kataku . Kucoba berkali-kali tapi tak
ada jawaban. Segera ku keluar rumah dengan membawa sejuta kecemasan akan
kondisi orang tuaku satu-satunya. Ku melangkah melewati rumah-rumah tetanggaku
mencari taxi yang mampu membawaku pada rumah sakit yang sudah disebutkan Om
Arman. Ku terus berjalan tanpa ada yang mampu menghentikan langkahku.
Kuperhatikan jalanan tak ada taxi yang lewat.
“Fitria… kamu mau kemana malam-malam gini ?” Tanya seseorang yang
tiba-tiba menghentikan laju motornya di dekatku.
“Mas Roby.. Ke Rumah sakit mas…
Ayahku kecelakaan, jawabku menahan isak tangisku yang mulai mendera”
“Yaudah.. mas antarin kamu aja
ya… Rumah sakit mana ?”
“Rumah sakit Budi Utomo”
Segera kami melaju dengan motor matic mas Roby menyusuri kotaku yang
sudah ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi. Mas Roby membawa motornya cukup
kencang namun masih bisa terkendali mengerti bagaimana perasaanku yang sedang
kalut khawatir dengan kondisi ayah.
“Sus… Kamar pasien yang bernama
Pak Wisnu korban kecelakaan di kamar berapa ?” tanyaku pada resepsionis Rumah
sakit dengan penuh kecemasan.
“Di kamar 56 mbak”
“Makasih ya.. sus…” jawab mas
Roby
Segera aku dan mas roby mencari kamar yang sudah disebutkan suster.
Tiba-tiba ku lihat Om Arman, Tante Susi, Kak Firman, dan Kak Alya sudah berada
di luar ruang operasi. Semua dalam keadaan sangat khawatir. Hingga akhirnya
dokter keluar dan menggelengkan kepala. Sontak isak tangis pecah saat itu juga.
“Ayaaaaaaahhhhhhhhh” Ku berlari menuju ruang operasi dengan tangis
yang sudah benar-benar yang sudah menemukan lubang terbesarnya hingga tak dapat
ku bending lagi.
Ku lihat laki-laki tampan itu berbaring dengan kain yang menutup
seluruh bagiannya. Ku terpaku dengan pemandangan luar biasa sepanjang sejarah
hidupku. Tak ada lagi tempat bagiku untuk mencurahkan seluruh isi hatiku.
Setelah mama memilih meninggalkan aku untuk tinggal bersama suaminya di
Amerika.
Kubuka perlahan kain yang menutupi ayah dalam perbaringannya.
Mukanya tetap tampan jauh lebih muda dari biasa.
“Ayah.. kenapa secepat ini ninggalin aku, Ayah gak sayang sama adek…
Ayah, lihat ini…. ini naskah pertamaku yah dalam menulis berita. Dan tadi
tutornya bilang naskahku yang paling baik Yah, aku pengen ayah orang yang
pertama kali lihat dan baca naskah beritaku, tapi ayah gak mau baca…” kataku
dengan suara terbata-bata menahan tangis. “Ayah.. bangun yahh… Ayah bangunn…. “
“Sabar Fit… semua ciptaan Tuhan akan kembali padanya” Kata seseorang
yang berada di belakangku dengan menepuk-nepuk pundakku. Namun nyatanya
kata-katanya tak mampu menghentikan isak tangisku. Begitu mudahnya orang
mengatakan sabar tanpa dia tahu apa yang sedang aku rasakan. Andai dia pernah merasakan
apa yang aku rasakan mungkin dia tidak akan semudah itu mengatakan sabar.
****
Kutatap fotoku bersama Ayah, Kak Firman dan kak Alya yang terpampang
dalam figura kecil di meja kerja ayah. Entah berapa lama aku memandangi foto
itu hingga tanpa aku sadar hujan mengguyur kawasan rumahku.
Tiba-tiba mataku tertuju pada lembaran yang terselip pada sebuah
buku. Kubuka buku itu dan mengambil lembaran kertas itu, kulihat adalah honor
ayah dari Koran yang biasa dia baca tiap hari. Rupanya ayah selalu mengirim
artikel pada Koran langganannya. Dan sayangnya aku tidak pernah tahu itu.
Karena aku tidak suka membaca.
“Om… ayah punya bakat menulis yah ?” tanyaku pada Om Arman sesaat
setelah aku keluar dari kamar ayah.
“Kenapa kamu tanya seperti itu ?”
“Aku lihat ini om di meja kerja ayah, Honor atas artikel yang dia
tulis”
“Sebelum kamu lahir, ayah kamu adalah seorang jurnalis Fit… Hingga
saat kamu lahir dan umur 4 tahun. Mama dan Ayah kamu cerai lantaran ayah kamu
sering tidak ada di rumah. Dan mama kamu sudah menemukan orang yang lebih baik
dari ayah kamu, sehingga meninggalkan kamu, Firman, Alya. Oleh sebab itu
setelah percerain mereka. Ayah kamu berhenti menjadi jurnalis agar bisa merawat
ketiga anaknya. Namun rasanya Firman dan Alya tidak mewarisi bakat jurnalis
seperti ayahmu.
“Aku ingin seperti ayah Om ,
menjadi seorang jurnalis yang mampu menyampaikan sebuah sajian informasi bagi
orang lain, agar tidak ada lagi orang yang tidak tahu” kataku. Memantapkan
pilihan hidup yang akan aku jalani.
“Untuk ayah… dan untuk Ayah… “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar